Jam sudah
menunjukkan pukul 16:35 ketika saya, akhirnya, hampir sampai di gedung LFM
setelah perjalanan panjang dari ujung lain kampus. Awalnya saya hanya ingin
mengambil barang dan langsung balik tanpa berniat mampir. Maklum, sore itu
sebenarnya banyak wacana yang (rencananya) ingin saya realisasikan. Namun
sapaan dan panggilan dari para kru memaksa saya untuk mampir sejenak. “Loh yas kok disini? Nggak ikut ke Jakarta?”,
beberapa bertanya heran. “Iya, baru
selesai kelas nih, emang belum pada berangkat?”, saya bertanya balik. Saat
itulah, Kahfi dan Ivan melewati kami dan berlari kearah luar dengan tergesa –
gesa. Ternyata, mereka hendak menyusul rombongan kru yang rupanya baru mau
berangkat menuju seminar yang dilaksanakan di Jakarta tersebut. Saya pun
berfikir cepat, menimbang – nimbang, haruskah saya harus ikut? Dan akhirnya
saya putuskan untuk ikut saja, toh yang perlu saya lakukan tinggal duduk manis
dan bisa tidur sepanjang jalan. Singkat cerita, pada pukul 16:44 dengan resmi
berangkatlah tujuh kru baru (Ayas, Eca, Mayang, Tosca, Kahfi, Budi, Ivan)
dengan disetiri oleh seorang kru berinisial Tomi.
Pukul 20:11,
dengan sisa tenaga dan perut yang mulai lapar akhirnya kami tiba di Erasmus Huis.
Begitu masuk, atmosfir “fotografi” sangat terasa dengan interior yang mendukung
serta disuguhkannya potret –potret indah di sepanjang tangga, tempat dilaksanakannya
presentasi tersebut. Setelah mengisi daftar tamu, kami masuk ke ruangan
presentasi dan langsung memusatkan perhatian pada pengisi materi, Jenny
Smets, seorang
kurator pameran fotografi dan direktur fotografi majalah Belanda, Vrij Nederland.
Jenny tampak humble
dengan balutan outfit kasual dalam membawakan materi yang sebenarnya cukup
padat. Saat kami masuk, ia sedang menjabarkan poin – poin yang dijadikan
parameter oleh seorang kurator fotografi jurnalis dalam menyeleksi foto yang
akan ditampilkan di majalah.
Pertama, DO NOT JUST BE “THE SAME”. Keluarlah
dari zona mainstream. Beranilah bereksplorasi. Tabrak saja aturan – aturan komposisi
dan angle yang kaku. Jangan biarkan kurator berfikir “Oh, I have seen something like this too much already”.
Kedua, BUILD THE MOOD. Bangun mood cerita yang
ingin ditampilkan dari semua sisi yang memungkinkan. Colour tone. Lighting.
Editing. Apappun yang bisa meningkatkan value dari foto tersebut.
Ketiga, MAKE IT PERSONAL. Be aware that the
curator is busy and they won’t have time to read bullshit story. Just BE CLEAR. Bahkan hal –hal sepele seperti mencantumkan
prolog yang tepat justru dapat memberikan first impression yang membangun. Jenny
mencontohkan, bahwa ia akan menaruh respect lebih pada kiriman foto dengan
subject “Dear Mrs. Jenny,” daripada “Dear Mr./Mrs. Currator” yang mana
mengindikasikan bahwa si pengirim mengirimkan pesan tersebut ke beberapa
kurator sekaligus.
The last but not the
least, PUT YOURSELF IN IT. Berikan
“sentuhan”mu. Setiap fotografer memiliki ciri khasnya masing – masing. Dan
kejujuran adalah nilai yang terpancar dari setiap hasil karya. Jenny
mengatakan, banyak sentiment miring yang menyatakan bahwa foto jurnalis tidak
seharusnya menonjolkan sisi estetik, karena hal itu dikhawatirkan dapat
mereduksi pesan yang sebenarnya ingin disampaikan. Tetapi menurutnya, hal ini
justru dapat menjadi kekuatan yang harus dimanfaatkan oleh fotografer.
Lalu, Jenny juga
kembali mengingatkan bahwa kurator fotografi juga adalah seorang manusia yang
tidak bisa sepenuhnya objektif. Maka, berbesar hatilah jika fotomu belum
terpilih. Barangkali, hal tersebut diakibatkan oleh perbedaan pandangan dengan
sang kurator.
Secara keseluruhan,
talkshow “Listen to Your Eyes” yang kami ikuti di menit – menit terakhir ini
cukup membuka pandangan kami tentang hal – hal berkaitan eksplorasi konsep
dalam fotografi jurnalistik sampai dengan tips dan trik lolos kurasi.
Usai presentasi selesai, pengunjung diminta untuk mengecek ada atau tidaknya voucher di bagian bawah kursi masing - masing, dan kebetulan Mayang, beruntung mendapatkan salah satu voucher di bawah kursinya. Voucher tersebut ternyata adalah untuk ditukarkan dengan sebuah photobook yang nantinya menjadi oleh - oleh kami.
Lalu, kami turun dan menyempatkan diri untuk melihat pameran foto yang sedang dilaksanakan di lantai bawah. Pameran foto tersebut ternyata menggelar rangkaian foto yang menang pada kompetisi internasional Pride Photo Award yang berhubungan dengan keragaman dan identitas gender. Setiap foto yang dipamerkan, memiliki caranya masing - masing dalam bercerita.
Usai presentasi selesai, pengunjung diminta untuk mengecek ada atau tidaknya voucher di bagian bawah kursi masing - masing, dan kebetulan Mayang, beruntung mendapatkan salah satu voucher di bawah kursinya. Voucher tersebut ternyata adalah untuk ditukarkan dengan sebuah photobook yang nantinya menjadi oleh - oleh kami.
Bersama Jenny, dengan Photobook hadiah. |
diskusi kruba; "eh maksudnya orang ini angkat tangan di depan ombak apa ya", kata Ivan. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar