Senin, 20 Maret 2017

Belajar Mendengarkan yang Terlihat

Jam sudah menunjukkan pukul 16:35 ketika saya, akhirnya, hampir sampai di gedung LFM setelah perjalanan panjang dari ujung lain kampus. Awalnya saya hanya ingin mengambil barang dan langsung balik tanpa berniat mampir. Maklum, sore itu sebenarnya banyak wacana yang (rencananya) ingin saya realisasikan. Namun sapaan dan panggilan dari para kru memaksa saya untuk mampir sejenak. “Loh yas kok disini? Nggak ikut ke Jakarta?”, beberapa bertanya heran. “Iya, baru selesai kelas nih, emang belum pada berangkat?”, saya bertanya balik. Saat itulah, Kahfi dan Ivan melewati kami dan berlari kearah luar dengan tergesa – gesa. Ternyata, mereka hendak menyusul rombongan kru yang rupanya baru mau berangkat menuju seminar yang dilaksanakan di Jakarta tersebut. Saya pun berfikir cepat, menimbang – nimbang, haruskah saya harus ikut? Dan akhirnya saya putuskan untuk ikut saja, toh yang perlu saya lakukan tinggal duduk manis dan bisa tidur sepanjang jalan. Singkat cerita, pada pukul 16:44 dengan resmi berangkatlah tujuh kru baru (Ayas, Eca, Mayang, Tosca, Kahfi, Budi, Ivan) dengan disetiri oleh seorang kru berinisial Tomi.

Pukul 20:11, dengan sisa tenaga dan perut yang mulai lapar akhirnya kami tiba di Erasmus Huis. Begitu masuk, atmosfir “fotografi” sangat terasa dengan interior yang mendukung serta disuguhkannya potret –potret indah di sepanjang tangga, tempat dilaksanakannya presentasi tersebut. Setelah mengisi daftar tamu, kami masuk ke ruangan presentasi dan langsung memusatkan perhatian pada pengisi materi, Jenny Smets, seorang kurator pameran fotografi dan direktur fotografi majalah Belanda, Vrij Nederland.

Jenny tampak humble dengan balutan outfit kasual dalam membawakan materi yang sebenarnya cukup padat. Saat kami masuk, ia sedang menjabarkan poin – poin yang dijadikan parameter oleh seorang kurator fotografi jurnalis dalam menyeleksi foto yang akan ditampilkan di majalah.

Pertama, DO NOT JUST BE “THE SAME”. Keluarlah dari zona mainstream. Beranilah bereksplorasi. Tabrak saja aturan – aturan komposisi dan angle yang kaku. Jangan biarkan kurator berfikir “Oh, I have seen something like this too much already”.

Kedua, BUILD THE MOOD. Bangun mood cerita yang ingin ditampilkan dari semua sisi yang memungkinkan. Colour tone. Lighting. Editing. Apappun yang bisa meningkatkan value dari foto tersebut.

Ketiga, MAKE IT PERSONAL. Be aware that the curator is busy and they won’t have time to read bullshit story. Just BE CLEAR.  Bahkan hal –hal sepele seperti mencantumkan prolog yang tepat justru dapat memberikan first impression yang membangun. Jenny mencontohkan, bahwa ia akan menaruh respect lebih pada kiriman foto dengan subject “Dear Mrs. Jenny,” daripada “Dear Mr./Mrs. Currator” yang mana mengindikasikan bahwa si pengirim mengirimkan pesan tersebut ke beberapa kurator sekaligus.

The last but not the least, PUT YOURSELF IN IT. Berikan “sentuhan”mu. Setiap fotografer memiliki ciri khasnya masing – masing. Dan kejujuran adalah nilai yang terpancar dari setiap hasil karya. Jenny mengatakan, banyak sentiment miring yang menyatakan bahwa foto jurnalis tidak seharusnya menonjolkan sisi estetik, karena hal itu dikhawatirkan dapat mereduksi pesan yang sebenarnya ingin disampaikan. Tetapi menurutnya, hal ini justru dapat menjadi kekuatan yang harus dimanfaatkan oleh fotografer.

Lalu, Jenny juga kembali mengingatkan bahwa kurator fotografi juga adalah seorang manusia yang tidak bisa sepenuhnya objektif. Maka, berbesar hatilah jika fotomu belum terpilih. Barangkali, hal tersebut diakibatkan oleh perbedaan pandangan dengan sang kurator.

Secara keseluruhan, talkshow “Listen to Your Eyes” yang kami ikuti di menit – menit terakhir ini cukup membuka pandangan kami tentang hal – hal berkaitan eksplorasi konsep dalam fotografi jurnalistik sampai dengan tips dan trik lolos kurasi.

Usai presentasi selesai, pengunjung diminta untuk mengecek ada atau tidaknya voucher di bagian bawah kursi masing - masing, dan kebetulan Mayang, beruntung mendapatkan salah satu voucher di bawah kursinya. Voucher tersebut ternyata adalah untuk ditukarkan dengan sebuah photobook yang nantinya menjadi oleh - oleh kami.


Bersama Jenny, dengan Photobook hadiah.
Lalu, kami turun dan menyempatkan diri untuk melihat pameran foto yang sedang dilaksanakan di lantai bawah. Pameran foto tersebut ternyata menggelar rangkaian foto yang menang pada kompetisi internasional Pride Photo Award yang berhubungan dengan keragaman dan identitas gender. Setiap foto yang dipamerkan, memiliki caranya masing - masing dalam bercerita.

diskusi kruba; "eh maksudnya orang ini angkat tangan di depan ombak apa ya", kata Ivan.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar